Rabu, 20 Februari 2013

[LIFE] Cintai dan Rawatlah Bumi


Pulau es raksasa yang dikabarkan lepas dari gletser Petermann, Greenland. Tidak tanggung-tanggung luas pulau es ini 260 km persegi, 5 kali luas Jakarta Pusat, dengan ketinggian 160 km.
Daya dorong es ini luar biasa, dan apabila pulau es raksasa ini sampai meleleh seluruhnya yang diperkirakan memakan waktu 2 tahun atau lebih, maka bisa mempengaruhi tinggi permukaan laut sekitar 6 meter.
Apabila ini sampai benar-benar terjadi permukaan laut di sekitar Jakarta bisa bertambah menjadi 3 meter. Ini beraarti wilayah Jakarta Utara dan sekitarnya tenggelam! Belum lagi tsunami dahsyat yang pernah terjadi di NAD dan gempa susulan setelah itu di berbagai tempat. Banjir di Pakistan yang menghanyutkan ratusan masyarakat. Dan banyak lagi bencana alam yang terjadi belakangan ini seolah susul menyusul!
Peristiwa yang tak diinginkan ini terjadi tak lain karena tingkah pola manusia di planet bumi ini seolah tak mau tau dengan alam. Tak mau tahu dengan lingkungan, tak mau tahu dengan pola hidup dan gaya yang salah.
Menghadapi alam ini seolah berkata yang penting enak dan menyenangkan, resiko belakangan. Dampak buruk tak perduli, toh saat ini bukan saya yang kena, seolah begitu semua penghuni bumi ini berkata. Dan ini juga dapat diyakini, sebab untuk memenuhi kebutuhan hidup yang namanya makan.
Tidak lagi sekadar cukup dan dari bahan apa yang ada. Tetapi demi rasa enak harus mengekploitasi beragam hal. Ambil contoh untuk penghuni di belahan bumi Asia atau Asia Tenggara. Katakan lagi khususnya Indonesia, untuk kebutuhan hidup (makanan) tidak cukup hanya makan nasi, sayur dan ikan, tetapi perlu dan harus ada daging. Tak ada yang tahu untuk "mendapat" sepotong daging katakanlah daging ayam membutuhkan proses dan pengorbanan.
Kalau untuk komsumsi satu atau dua orang saja tidak masalah. Tetapi bayangkan penduduk Indonesia dengan jumlah 220 juta. Satu hari berapa juta ekor ayam harus mati. Dan untuk menjadikan jutaan ekor ayam berapa banyak tumbuhan dikorbankan untuk jadi makanannya.
Demikian pabrik pelet berserta bahan dasarnya tak pernah kita bayangkan dari apa saja dan apa saja dampaknya kalau analisa dampak lingkungannya tidak benar. Contoh, aroma tak sedap terus membaluti sekitar. Dan pedihnya kita tak pernah pikirkan kotoran ayam jutaan ekor itu sudah menjadi polusi yang menyebalkan bagi bumi dan ruang udara ini.
Zat kimia apa saja yang dihasilkannya berdampak negatif tentu tak dapat diuraikan satu per satu di sini. Akibatnya lapisan ozon menipis.
Itu dari sisi daging ayam, belum lagi lembu, kerbau dan kambing. Lembu paling banyak diproduksi sekaligus diekploitasi. Betapa tidak! Selain mendapatkan dagingnya juga susunya. Kotoran lembu ini setiap hari mengudara dan mengotori langit biru tanpa pernah kita tahu bagaimana mencegahnya atau paling tidak menetralisirnya agar tidak merusak udara alam yang segar ini.
Tidak mengherankan ozon semakin tak mampu menampung udara udara kotor entah apa saja berdatangan dari planet bumi ini? Belum lagi asap bergumpal akibat pembakaran hutan. Knalpot mobil dan truk pemakai solar yang mengeluarkan asap serta pabrik-pabrik besar pengguna bahan bakar solar. Tanah longsor karena penggundulan hutan secara berkesinambungan membuat laut "bingung" alias tak mampu menerima kiriman lumpur tanah akibat erosi di hulu sungai.
Jadi tidak usah heran kalau CPO kita, konon katanya ditolak negara Eropa atau Barat karena penanaman kelapa sawit tidak mengindahkan standar penghijauan planet bumi ini.
Seharusnya alam ini tidak marah, kalau lah penghuni jagat raya ini sedikit mau sopan dan sportif dalam menggunakan lingkungan dan jangan mengekploitasi. Boleh pakai tetapi rawat. Boleh ambil tetapi kembali ditanami dan ditata dengan baik. Bukan sekaligus misalnya menggundul hutan demi kepentingan segelintir orang (selagi punya kekuasaan dan kekuatan) atau sekelompok tertentu selagi memiliki hak dan wewenang lalu mengambil sewenang-wenang.
Hasil alam berupa minyak, batubara, gas dan lain lain tidak harus dikeruk habis, tetapi patutlah ditinggalkan untuk anak dan cucu. Pakai dan gunakan secukupnya, bukan untuk pamer kekuatan dan bahan komersialisasi.
Keindahan alam ini sewajarnya dan memang sepatutnya dipertahankan dan dijaga dengan baik. Sekalipun dia tidak dapat berbicara, tetapi tanda tanda alam yang penuh misteri ini, apakah tak baik kita jadikan sebagai suatu peringtan akan pentingnya bumi ini dirawat dan dijaga dengan sungguh-sungguh dan serius!
Jangan setelah pulau es raksasa itu cair dan membanjiri bumi ini baru kita mengatakan ampun dan aku salah. Jangan setelah debu vulkanik gunung gunung berapi bertaburan mengisi alam raya ini, baru kita menyesal.
Jangan setelah goncangan demi goncangan bumi ini semakin keras dan menghempaskan baru kita mengatakan mohon maaf. Jika itu terjadi lebih dulu, maka tidak ada lagi artinya semua, kecuali seperti kata sebait lagu lama: Terlambat sudah .... terlambat sudah .... Semuanya telah berlalu...
Kiranya menjadi bahan perenungan dan koreksi bagi mahluk penghuni bumi ini.***
Penulis pemerhati sosial dan pecinta lingkungan.

Oleh : Naurat Silalahi